Kamis, 08 Maret 2012

FIESTA SEJARAH KESUSASTERAAN JAWA KUNO DAN PERTENGAHAN


Posted by Sumar on 2011-05-29 [ print artikel ini | dilihat 561 kali ]



Jawa dan Bali mungkin tidak memiliki prasasti-prasasti Sansakerta, jadi begitu banyak dan begitu bagus sekali karangan-karangan seperti di Kambuja, akan tetapi kesusasteraan aseli meskipun banyak berdasarkan kepada tema-tema India dengan sedikit modifikasi dan dalam gaya mereka sendiri, tidak ada bandingannya di semua wilayah yang dipengaruhi oleh kebudayaan India.


Bagian yang paling berharga adalah dalam bahasa Jawa Kuno, yang dulu dinamakan Kawi, dan jangka waktu Jawa Kuno ini tahan beberapa abad dari jaman Sailendra sampai runtuhnya Majapahit (abad ke sembilan sampai ke abad ke sepuluh M.). Kesusasteraan bahasa Jawa Pertengahan sebagian besar termasuk kalau tidak semata-mata ke Bali dan sejak dari akhir abad kelimabelas waktu penulis-penulis Jawa mencari perlindungan di Bali di mana mereka melanjutkan aktivitas kesusasteraan mereka.

Karya tertua dalam bahasa Jawa Kuno yang dikenal adalah AMARAMALA - sebuah terjemahan dari kamus Sansakereta AMARAKOSA - dan para sarjana menugaskan terjemahan itu kepada raja dinasti Sailendra yang bernama Jitendra, yang tidak ketahui apa-apapun juga. Berikutnya dalam urut-urutan kronologis adalah Ramayana dalam bahasa Jawa Kuno, yang oleh sarjana Prof. Dr. R.M. Ng.
Purbatjaraka dihubungkan ke abad kesembilan dan ke Jawa Tengah.
Prof. Dr. George Cedes menghubungkan naskah WAJRAYANA oleh Sanghyang Kamahayanikan pada jaman yang sama dan pada wilayah yang sama.
Perlu kita catat bahwa kedua karya itu mendapat tempat yang tinggi dalam kesusasteraan Jawa-Hindu. RAMAYANA tidak mengikuti epik (syair
kepahlawanan) yang aseli dengan sangat teliti dan tidak ada Uttara Kanda di dalamnya. (Mungkin hal ini penting oleh karena akan dapat memberikan ilham kepada pengarang-pengarang sesudahnya untuk mengarang dengan tema yang sama).

Nama pengarang dan tanggal digubahnya tidak dapat diketahui dengan pasti.
Mengenai Kamahayanikan, para sarjana berpendapat bahwa Kamahayanikan merupakan sebuah kunci yang sangat diperlukan sebagai cara memuja Siwa-Buddha dan mistisisme Tantri yang pada waktu itu merupakan ciri-ciri yang lazim di kalangan-kalangan aristokrasi di Indonesia selama beberapa abad. Borobudur, dikatakan, adalah suatu monumen cara memuja yang sama.

Jaman Airlangga menyaksikan ledakan aktifitas kesusasteraan yang besar di Jawa Timur. Akan tetapi saduran dalam prosa bahasa sehari-hari dari Adiparwa,Wirataparwa dan Bhismaparwa di Mahabharata dianggap berasal dari pemerintahan raja Dharmawamsa, pendahulu Airlangga.
Rupa-rupanya karya itu digubah segera sebelum 'pralaya' menghancurkan kerajaan dan raja. Seperti telah diamati oleh Prof. Dr.R.C. Majumdar, Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno menyebabkan cerita kepahlawanan itu populer di seluruh Jawa.

Bahkan sekarang, tokoh-tokoh perseorangan wilayah ini mempunyai nama-nama yang diperoleh dari pahlawan-pahlawan perang Kurukshetra.

Setelah pengkajian bait Sansakerta dengan secara saksama yang oleh penulis Jawa ditempatkan di atas parwa, Prof. Dr. Sylvain Levi berpendapat bahwa Wandana dari Wyasa dalam bait perkenalan dari Adiparwa dalam bahasa Jawa Kuno bukanlah dari Mahabharata (Sansakerta) yang aseli. Tetapi dari garis pembukaan Wenisamhara dari Bhattanarayana yang diambil sloka nya.

Mungkin sloka-sloka yang lain dapat diikuti jejaknya ke sumber yang sama.
Komentar-komentar selanjutnya dari Prof. Dr. Sylvain Levi (salah satu 'Orientalis' terbesar di jamannya), pada topik ini juga sangat penting dari sudut pandang perkembangan kultural Jawa-Hindu.
Beliau menulis,: 'Bahwa sebuah drama dari India, terutama sekali sebuah drama yang didasarkan pada Mahabharata, yang sudah dikenal pada abad kesepuluh di Jawa pada abad kesepuluh, memberikan kredibilitas pada teori bahwa Wayang memperlihatkan asalnya pada pengaruh India.'

Sebagai bukti dari 'teori' ini,' sarjana kawakan itu mengatakan bahwa kita memperoleh indikasi pertama mengenai eksistensi Wayang pada Arjunawiwaha, karya aseli pertama di Jawa yang didasarkan pada sebuah tema Mahabharata.

Kita telah mencatat bahwa Arjunawiwaha (1035 M.) kenyataannya adalah sebuah epithalamium (sebuah sajak yang berhubungan dengan pernikahan), merayakan pernikahan raja Airlangga yang mengendalikan pemerintahan, dengan seorang puteri Sriwijaya. Persekutuan matrimonial antara dua negara pulau terbentuk.

Dinasti Kediri, yang memainkan peranan penting di Jawa Timur setelah Airlangga, melindungi para pujangga sehingga dengan tepat dapat disebut sebagai abad keemasan kesusasteraan Jawa.

Dalam pemerintahan Jayawarsha (awal abad keduabelas), pujangga Triguna menulis karya beliau yang berjudul: 'Krishnayana." Beberapa waktu kemudian, muncul syair 'Smaradahana," (terbakarnya dewa asmara). Pengarang Dharmaja memperindah istana Kameswara I (atau Wameswara I, 1115-1130). Dalam pemerintahan Jayabhaya (1135-1157), Mpu Sedah memulai Bharatayuddha yang terdiri atas lima parwa yang melukiskan adegan peperangan yang sebenarnya dari pertempuran Kurukshetra. Karya itu sangat hebat. Mpu Penuluh, pengarang Hariwamsa, menyelesaikan syair Sedah yang belum selesai.

Mungkin Kameswara atau Wameswara II (kira-kira 1194 M.), pahlawan dari roman percintaan Panji, yang masih sangat tenar di Jawa. Pahlawan tsb menikah dengan Candrakirana - seorang puteri dari Jenggala - dengan siapa raja selalu duduk di atas singgasana kencana. Menurut beberapa sarjana, Kameswara I (atau Wameswara I) yang seharusnya memperoleh penghargaan.

Pada jaman Singasari, Kakawin (Kawya) Krishnantaka (wafatnya Krishna) menunjuk kepada Raja Krtanagara sebagai Siwa-Buddha-Murti.

Dalam jaman Majapahit, dua tarikh sejarah terkenal yaitu Pararaton (kitab
raja-raja) dan Nagarkrtagama merupakan dua karya yang mengemuka.

Pararaton da Krtagama tidak hanya memberikan gambaran mengenai peperangan-peperangan dan politik-politik pada masa-masa yang memberikan kesan yang kuat, akan tetapi karya-karya itu memberikan kita dengan tokoh-tokoh yang benar-benar hidup, tidak sekadar abstraksi kering.
Latar belakang sosial dan agama pada babak akhir jaman Jawa-Hindu digambarkan dengan secara gamlang.

Prof. Dr. George Cedes mempunyai alasan-alasan yang sudah dipertimangkan masak-masak untuk menolak opini para sarjana Belanda yang secara ringkas menolak isi dua tarikh-tarikh sejarah tsb hanya propaganda. Bila laporan-laporan sejaman menolak hanya karena panegyric (tulisan berisi
puji-pujian) atau gunjingan yang jujat (membunuh), tidakkah historiografi kehilangan salah satu sumber bahan yang utama?

Tibalah sudah kita sekarang pada tahap karya-karya kesusasteraan dalam bahasa Jawa Pertengahan yang tahapannya berkembang subur di Bali. Di Jawa, apa yang kita namakan kesusasteraan Jawa-Hindu berakhir dengan jatuhnya Majapahit. Sarjana-sarjana, yang melarikan diri dari Majapahit, menetap di Bali, dan meneruskan aktifitas-aktifitas kesusasteraan mereka.

Usana Jawa menggambarkan penaklukan Bali oleh Majapahit pada waktu zaman kemakmuran imperium tsb dengan Gajah Mada sebagai pengemudi bahtera negara.
Usana Bali juga dikenal sebagai Mayantaka (wafatnya Maya Danawa) Kita telah menunjuk kepada kekalahan dan wafatnya Danawa di tangan perajurit-perajurit Kshatriya Bali. Usana Bali yang memberi nama Bali Ataka - pangkuan orang yang kuat - jadi dengan tepat menggambarkan semangat perang orang-orang Bali.
Di dalam dua Usana (sejarah-sejarah yang lebih tua) terdapat dua Kidung (syair dalam bahasa Jawa Kuno di Bali). Kidung Harsha Wijaya memberi topik-topik historis dengan nada romantis populer ringan riwayat kerja Wijaya pendiri Majapahit.

Karya-karya bahasa Jawa Pertengahan tidak begitu mengikuti naskah-naskah tema-tema dan gaya karya-karya klasik India dalam bahasa Jawa Kuno. Terdapat lebih banyak elemen (unsur) pribumi di dalam kesusasteraan bahasa Jawa Pertengahan pada seni Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar