Tahun Lahir : 1850 M.
Tahun Wafat : 1905 M.
Mazhab : Syafii-Asyariyah
Tokoh : Mufassir Qur’an
Syeikh Muhamad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan
Khairullah. Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten
al-Buhairah, Mesir pada 1850 M/1266 H, berasal dari keluarga yang tidak
tergolong kaya dan bukan pula keturunan bangsawan.
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan
keluarga petani di pedesaan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai
orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Semua saudaranya membantu
ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh
ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pilihan ini bisa
jadi hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat dicintai
oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang
tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain, baru dua
minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk. Beliau
dikawinkan dalam usia yang sangat muda yaitu pada tahun 1865, saat ia
baru berusia 16 tahun.
Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dari
Masjid al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 Km. dari Kairo) untuk mempelajari
tajwid Al-Qur’an. Setelah dua tahun berjalan di sana, pada tahun 1864
ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti
saudara-saudara dan kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah ia
dikawinkan.
Walaupun sudah kawin, ayahnya tetap
memaksanya untuk kembali belajar. Namun Muhammad Abduh sudah bertekad
untuk tidak kembali. Maka ia lari ke desa Syibral Khit − tempat di mana
banyak paman dari pihak ayahnya yang bertempat tinggal. Di kota inilah
ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang
mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur’an dan menganut paham tasawuf
asy-Syadziliah. Pada periode ini, Muhammad Abduh sangat dipengaruhi
oleh cara dan paham sufi yang ditanamkan oleh sang paman. Ia berhasil
merubah pandangan pemuda ini dari seorang yang membenci ilmu pengetahuan
menjadi menggemarinya.
Beliau sempat kembali ke Masjid
al-Ahmadi Thantha, kemudian menuju ke Kairo untuk belajar di al-Azhar,
yaitu pada bulan Februari, 1866. Di perguruan ini ia sempat berkenalan
dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, di antaranya: Pertama,
Syaikh Hasan ath-Thawi yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan
Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles, dan lain sebagainya. Padahal,
kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di al-Azhar pada waktu itu; Kedua,
Muhammad al-Basyuni, seorang ilmuan yang banyak mencurahkan perhatian
dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa
melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktekkannya.
Ketika Jamaluddin al-Afghani tiba di
Mesir, tahun 1871, kehadirannya disambut oleh Muhammad Abduh dengan
menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan olehnya. Hubungan
ini mengalihkan kecenderungan Muhammad Abduh dari tasawuf dalam arti
yang sempit, sebagai bentuk tata cara berpakaian dan zikir, kepada
tasawuf dalam arti yang lain, yaitu perjuangan untuk melakukan perbaikan
keadaan masyarakat, membimbing mereka untuk maju, dan membela
ajaran-ajaran Islam.
Setelah dua tahun sejak pertemuannya
dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan yang sangat berarti
pada kepribadian Abduh dan mulailah ia menulis kitab-kitab karangannya
seperti Risalah al-’Aridat (1837), disusul kemudian dengan Hasyiah
Syarah al-Jalal ad-Diwani Lil ‘Aqaid adh-Adhudhiyah (1875). Dalam
karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah
menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam
(teologi), dan tasawwuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang
dianggapnya salah.
Di samping itu, Abduh juga menulis
artikel-artikel pembaruan di surat kabar Al-Ahram, Kairo. Melalui media
ini gema tulisan tersebut sampai ke telinga para pengajar di al-Azhar
yang sebagian di antaranya menimbulkan kontroversi serta pembelaan dari
Syaikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi, di mana ketika beliau menduduki
jabatan “Syaikh al-Azhar”, Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan
mencapai tingkat tertinggi di al-Azhar, dalam usia 28 tahun (1877 M).
Setelah lulus dari tingkat Alamiyah
(sekarang Lc.), ia mengabdikan diri pada al-Azhar dengan mengajar
Manthiq (Logika) dan Ilmu Kalam (Teologi), sedangkan di rumahnya ia
mengajar pula kitab Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibnu Maskawaih dan
Sejarah Peradaban Kerajaan-kerajaan Eropa.
Pada tahun 1878, ia diangkat sebagai
Pengajar Sejarah pada sekolah Dar al-’Ulum (yang kemudian menjadi
fakultas) dan ilmu-ilmu bahasa Arab pada Madrasah Al-Idarah Wal Alsun
(Sekolah Administrasi dan Bahasa-bahasa).
Pada tahun 1879, Muhammad Abduh
diberhentikan dari dua sekolah yang disebut terakhir dan diasingkan ke
tempat kelahirannya, Mahallat Nashr (Mesir), berbarengan dengan
terjadinya pengusiran terhadap Jamaluddin al-Afghani oleh pemerintah
Mesir atas hasutan Inggris yang ketika itu sangat berpengaruh di Mesir.
Akan tetapi, dengan terjadinya perubahan Kabinet pada 1880, beliau
dibebaskan kembali dan diserahi tugas memimpin surat kabar resmi
pemerintah, Al-Waqa’i al-Mishriyah. Surat kabar ini, oleh Muhammad
Abduh dan kawan-kawan bekas murid Al-Afghani, dijadikan media untuk
mengkritik pemerintah dan aparat-aparatnya yang menyeleweng atau
bertindak sewenang-wenang.
Setelah Revolusi Urabi tahun 1882
(yang berakhir dengan kegagalan), Muhammad Abduh yang ketika itu masih
memimpin surat kabar Al-Waqa’i, dituduh terlibat dalam revolusi
tersebut, sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya
selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya memilih tempat
pengasingan, dan ia memilih Suriah.
Di Negara ini Muhammad Abduh menetap
selama setahun. Kemudian ia menyusul gurunya, Jamaluddin Al-Afghani,
yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka berdua menerbitkan
surat kabar Al-’Urwah al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam dan
menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris.
Tahun 1884 Muhammad Abduh diutus oleh
surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh negara itu
yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1885 Muhammad Abduh
meninggalkan Paris menuju ke Beirut (Libanon) dan mengajar di sana
sambil mengarang beberapa kitab, antara lain:
1. Risalah at-Tauhid (dalam bidang teologi);
2. Syarah Nahjul Balaghah (Komentar menyangkut kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib);
3. Menerjemahkan karangan Jamaluddin
al-Afghani dari bahasa Persia, Ar-Raddu ‘Ala ad-Dahriyyin (Bantahan
terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan); dan
4. Syarah Maqamat Badi’ az-Zaman al-Hamazani (kitab yang menyangkut bahasa dan sastra Arab).
Di Beirut, aktivitas Muhammad Abduh
tidak terbatas pada mengarang dan mengajar saja, tetapi bersama beberapa
tokoh agama lain mendirikan sebuah organisasi yang bertujuan menggalang
kerukunan antar umat beragama. Organisasi ini telah membuahkan
hasil-hasil positif, terbukti dengan dimuatnya artikel-artikel yang
mengangkat ajaran Islam secara objektif pada media massa di Inggris,
padahal ketika itu jarang sekali dijumpai hal serupa di media Barat.
Namun, organisasi ini dan aktivitas anggota-anggotanya dinilai oleh
penguasa Turki di Beirut mempunyai tujuan-tujuan politik, sehingga
penguasa tersebut mengusulkan kepada pemerintah Mesir untuk mencabut
hukuman pengasingan Muhammad Abduh dan diminta segera kembali ke Mesir.
Pada 1888, Muhammad Abduh kembali ke
tanah airnya dan oleh pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di
Pengadilan Daerah Banha. Walaupun ketika itu Muhammad Abduh sangat
berminat untuk mengajar, namun pemerintah Mesir agaknya sengaja
merintangi, agar pikiran-pikirannya yang mungkin bertentangan dengan
kebijaksanaan pemerintah ketika itu tidak dapat diteruskan kepada
putera-puteri Mesir.
Terakhir, ia ditugaskan di Pengadilan
Abidin, Kairo. Kemudian, pada 1899 ia diangkat menjadi Mufti Kerajaan
Mesir dan pada tahun yang sama Muhammad Abduh juga menjabat sebagai
anggota Majelis Syura Kerajaan Mesir, seksi perundang-undangan.
Pada tahun 1905, Muhammad Abduh
mencetuskan ide pembentukan Universitas Mesir. Ide ini mendapat respon
yang begitu antusias dari pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan
disediakannya sebidang tanah untuk maksud tersebut. Namun sayang,
universitas yang dicita-citakan ini baru berdiri setelah Muhammad Abduh
berpulang ke Rahmatullah dan universitas inilah yang kemudian menjadi
“Universitas Kairo”.
Pada tanggal 11 Juli 1905, saat masa
puncak aktivitasnya membina umat, Muhammad Abduh meninggal dunia di
Kairo, Mesir. Yang menangisi kepergiannya bukan hanya umat Islam, tetapi
ikut pula berduka di antaranya sekian banyak tokoh non-Muslim.
Selain yang telah disebutkan di atas, selama hidupnya beliau juga melahirkan beberapa karya lain, yaitu:
1. Tafsir al-Qur’an al-Hakim (belum sempurna, kemudian dirampungkan oleh Rasyid Ridha);
2. Khasyiah ‘Ala Syarh ad-Diwani li al-‘Aqaid adh-‘Adhudhiyat;
3. Al-Islam wa an-Nashraniyat ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyat.
Syekh Muhammad Abduh menggerakkan dan
mempelopori kebangkitan intelektual pada paruh kedua abad ke–9.
Kebangkitan dan reformasi dipusatkan pada gerakan kebangkitan,
kesadaran, dan pemahaman Islam secara komprehensif, serta penyembuhan
agama dari berbagai problem yang muncul di tengah-tengah masyarakat
modern.
Ada dua fokus utama pemikiran tokoh
pembaharu Mesir ini; Pertama, membebaskan umat dari taqlid dengan
berupaya memahami agama langsung dari sumbernya – al-Qur’an dan Sunnah –
sebagaimana dipahami oleh ulama salaf sebelum berselisih (generasi
Sahabat dan Tabi’in). Kedua, memperbaiki gaya bahasa Arab yang sangat
bertele-tele, yang dipenuhi oleh kaidah-kaidah kebahasaan yang sulit
dimengerti. Kedua fokus tersebut ditemukan dengan sangat jelas dalam
karya-karya Abduh di bidang tafsir.
Referensi:
- Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi
- Tarikh Al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh karya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
- ‘Ulum al-Qur’an karya Ahmad Von Denffer
- tulisan Syekh Muhammad Abduh & Karya Tafsirnya (Pengantar “Tafsir Juz ‘Amma Muhamad ‘Abduh”) karya M. Quraish Shihab, terj. Muhammad Bagir)
0 komentar:
Posting Komentar