a. Ruang lingkup arbitrase
Pengakuan sistem peradilan di Indonesia akan arbitrase telah berlangsung
sejak jaman kolonial. Keberadaan arbitrase sebagai salah satu
alternatif dalam penyelesaian sengketa keperdataan telah mendapat
pengakuan formal yuridis dalam sistem hukum Indonesia . Jejak
aturan-aturan tersebut antara lain dapat dilihat pada pasal 377 HIR,
pasal 3 undang-undang no. 4 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman,
Undang-undang no. 5 tahun 1968, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) no.1
tahun 1990 dan teranyar dalam Undang-undang no. 30 tahun 1999.
Menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa umum, yang dimaksud dengan arbitrase
adalah cara adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Adapun perjanjian
arbitrase diartikan sebagai suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase
yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang
dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Konvensi New York 1958 yaitu Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Award (konvensi atas pengakuan atas
pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri) yang telah diterima/ diaksesi
oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden no. 34 tahun 1981 merupakan
pengakuan resmi arbitrase internasional dalam sistem tata hukum nasional
di Indonesia .
Pokok-pokok materi yang diatur dalam konvensi tersebut antara lain adalah :
a. Arti putusan arbitrase asing , yaitu putusan-putusan arbitrase yang
dibuat di wilayah negara lain dari negara tempat di mana diminta
pengakuan dan pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase yang
bersangkutan.
b. Asas resiprositas, berarti penerapan pengakuan dan pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase asing dalam suatu negara atas permintaan dari
negara lain, hanya dapat diterapkan apabila antara negara yang
bersangkutan telah ada lebih dulu hubungan ikatan bilateral atau
multilateral.
c. Pembatasan sepanjang sengketa dagang, negara peserta membatasi
penaklukan diri hanya terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing, sepanjang mengenai persengketaan perjanjian bisnis dan
perdagangan
d. Berbentuk tertulis, yakni perjanjian atau klausula harus ditetapkan secara tertulis
e. Arbitrase memiliki kompetensi absolut, artinya sekali para pihak
membuat persetujuan penyelesaian perselisihan melalui arbitrase, sejak
saat itu arbitrase telah memiliki kompetensi absolut untuk memutus
persengketaan yang timbul dari perjanjian yang bersangkutan.
f. Putusan arbitrase final and binding, artinya sebagai putusan yang
mengikat dan binding serta harus melaksanakan eksekusi menurut aturan
hukum acara yang berlaku dalam wilayan negara di mana putusan arbitrase
yang bersangkutan dimohon eksekusi.
g. Eksekusi tunduk pada asas ius sanguinis, atau asas personalitas,
yaitu tata cara pelaksanaan eksekusi tunduk pada pengadilan di mana
permohonan eksekusi diajukan
h. Dokumen yang dilampirkan pada permohonan pengakuan eksekusi, meliputi
seluruh dokumen sebagai dasar terbitnya putusan arbitrase tersebut
i. Penolakan eksekusi, dapat dimungkinkan apabila
• Masalah yang disengketakan menurut hukum dari negara di tempat mana
permohonan diajukan, tidak boleh diselesaikan menurut forum arbitrase
• Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang bersangkutan akan menimbulkan pertentangan dengan kepentingan umum.
Makna arbitrase yang menjadi pilihan para pihak dalam kontrak adalah untuk
• Arbitrase adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak.
• Arbitrase adalah pranata swasta (private tools) atau ekstra-judisial atau mekanisme penyelaian di luar pengadilan
• Eksistensi arbitrase adalah pada prinsip kemandirian yang dimilikinya
• Sumber atau dasar hukum jurisdiksi dan ruang linbgkupnya adalah
ditentukan dan dibatasi oleh kehendak para pihak sendiri, dalam arti
para pihak yang bersengketa dapat menentukan sendiri aturan hukum yang
akan diberlakukan, dengan prosedur atau hukum acara apa, maupun dapat
menyepakati lain dengan cara bagaimana arbitrase dijalankan.
b. Pembatasan terhadap efektivitas arbitrase
Pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dimaksudkan para
pihak untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang cepat, murah dan
efektif. Kesepakatan para pihak tersebut diharapkan tidak akan diingkari
– sesuai dengan asas pacta sunt servanda – mana kala ada sengketa,
untuk menyelesaikannya melalui jalur arbitrase. Namun demikian, pihak
yang dikalahkan dalam arbitrase, sering kali men challenge keputusan
arbitrase, baik atas dasar bahwa arbitrase tidak memiliki kewenangan
dalam memutuskan materi yang menjadi objek sengketa, atau para arbiter
bertindak tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, cover both side
atau impartialitas. Lebih jauh lagi, sering keputusan murni bisnis dalam
arbitrase, dikaitkan dengan penekanan atau campur tangan politis negara
kuat tertentu yang menekan salah satu pihak yang berperkara .
Berdasarkan aturan normatif, apabila para pihak sepakat untuk
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, sesungguhnya tidak ada lagi
kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa substansi sengketa
tersebut. Namun, dengan berbagai alasan dan pembenaran yang
dimungkinkan, sering sekali putusan arbitrase diuji lagi oleh pengadilan
negeri di Indonesia, atau eksekusinya tidak dilaksanakan, membuat
banyak pihak mempertanyakan efektivitas eksekusi putusan arbitrase dalam
sistem hukum Indonesia. Hal-hal seperti conflict of law, error in
persona, mempertanyakan jurisdiksi pengadilan adalah alasan yang legally
umum disampaikan para lawyer. Hal ini sering dipelesetkan, bukan
merupakan conflict of law, tetapi conflict of lawyer.
c. Celah hukum internasional
Kepentingan umum atau ketertiban umum, itu sendiri mengandung batasan
yang sangat longgar, multi tafsir dan dapat berubah menurut waktu dan
tempat. Ketertiban umum juga ada yang bermakna internal (internal public
order) dan ada juga yang menyangkut international order. Ketertiban
umum intern adalah ketentuan-ketentuan yang yang hanya membatasi
perseorangan sedangkan ketertiban umum eksternal adalah kaidah-kaidah
yang bertujuan untuk melindungi kesejahteraan negara dalam pengertian
seluruhnya. Namun dalam implementasinya, hal ini tidak terlalu mudah
dibedakan. Setiap negara memiliki aturan, kaidah dan ukuran ketertiban
umumnya sendiri. Contohnya, di Mesir adalah hal yang lumrah dan sesuai
dengan panggilan nurani pribadi apabila seseorang berpoligami, namun hal
itu merupakan pelanggaran ketertiban umum apabila dilaksanakan di
Perancis.
Perumusan atau konstruksi hukum pada konvensi New York 1958 mengandung
beberapa kontroversi, ambiguitas dan contradictio in terminis dalam
klausula-klausulanya. Di satu pihak, konvensi tersebut menegaskan bahwa
arbitrasi sebagai extra judicial untuk penyelesaian perkara memiliki
kompetensi absolut, namun di sisi lain juga membuka ruang kepada para
negara anggota untuk mengesampingkan keputusan arbitrase manakala hal
tersebut dianggap bertentangan dengan kepentingan umum, dan
memperjanjikan hal-hal yang tidak boleh diperjanjikan menurut hukum
negara tertentu (causa tidak halal) . Bahkan sekiranya tidak
bertentanganpun dengan aturan hukum materiil di suatu negara,
eksekusinya tergantung kepada Pemerintah negara di mana objek sengketa
berada.
Apakah kepentingan umum? Kriteria kepentingan umum ini adalah sesuatu
yang sangat longgar dan berbeda-beda di masing-masing negara. Bahkan
dalam satu negara pun, kepentingan umum dapat berbeda pemahaman dan
artinya dalam rentang dimensi waktu, ruang, tempat dan subjek yang
berbeda. Karena itu, Tineke Longdong menyarankan agar konsepsi
ketertiban umum ini dipergunakan seirit mungkin .
Sedemikian fleksibelnya pengertian kepentingan umum (public policy)
tersebut, sehingga dapat mengurangi efektivitas suatu putusan arbitrase.
Dalam hal satu negara tidak mengakui hasil suatu putusan arbitrase
dengan dalih dan dalil melanggar kepentingan nasional, negara lainnya
tidak dapat memaksakan eksekusinya di negara tersebut. Setiap negara
memiliki kedaulatan hukumnya masing-masing. Paling jauh yang dapat
dilakukan adalah semacam hukuman kolektif yang sifatnya non legal
seperti pemboikotan barang dan jasa yang mengalir ke dan dari negara
yang bersangkutan, pembatasan quota dan tindakan hostile lainnya.
Ditarik dan diperluasnya persoalan bisnis antar entitas non negara
menjadi seolah-olah karena faktor pemerintah negara sehingga diarahkan
ke hukuman kolektif, adalah karena ada anggapan bahwa tidak dipatuhinya
putusan arbitrase oleh para pihak terutama pihak yang kalah adalah
sebagian karena campur tangan atau pengaruh negara tuan rumah. Negara
dalam hal ini didalilkan memiliki state responsibility kepada warganya.
d. Celah hukum nasional
Apabila diperhatikan nampaknya ada sikap mendua dalam sistem
pengadilan di Indonesia untuk dapat menerima kekuatan mengikat yang
bersifat final dan mempunyai daya eksekusi atas suatu putusan perkara
yang dilakukan melalui arbitrase, terutama oleh arbitrase internasional.
Bahkan menurut sistem hukum Indonesia, terhadap arbiter sendiri dapat
diajukan tuntutan hukuman.
Pasal 22 ayat 1 Undang-undang no. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa terhadap arbiter dapat
diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti
otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya
tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
Terhadap putusan arbitrase Internasional, Pengadilan hukum di Indonesia
dapat melakukan pengingkaran pengakuan (denial of awards) akan
substansi yang telah diputus oleh lembaga arbitrase internasional, dan
juga terhadap eksekusi (denial of awards) terhadap objek arbitrase yang
ada di wilayah jurisdiksi hukum Indonesia.
Pada pasal 65 Undang-undang no. 30 tahun 1999 di bawah sub judul
arbitrase internasional berbunyi : Yang berwenang menangani masalah
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dari pengertian pasal tersebut bukan
saja pengadilan berwenang untuk menolak mengeksekusi suatu putusan
arbitrase, bahkan memiliki kewenangan untuk menolak pengakuan terhadap
materi yang telah diputuskan oleh lembaga arbitrase internasional.
Pengakuan atas daya ikat putusan arbitrase, diletakkan di bawan sub
judul arbitrase nasional, pada pasal 60 yang berbunyi : Putusan
arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat
para pihak.
Di sisi lain dalam pasal 456 RV atau Hukum Acara Perdata menyebutkan
bahwa pengadilan Indonesia tidak akan mengakui dan melaksanakan putusan
pengadilan yang dibuat di negara lain. Dengan kata lain, apabila hendak
mengeksekusi suatu putusan arbitrase Internasional, pihak yang
bersangkutan harus mengajukan gugatan baru di Indonesia.
Pasal 66 UU no. 30 tahun 1999
Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di
wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada
perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai
pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a
terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk
dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a
hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a
yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam
sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan pasal 3 Undang-undang No. 30 tahun 1999 menentukan bahwa
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak
yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase. M. Yahya Harahap
mengatakan bahwa rumusan pasal tersebut adalah mendua (ambiguity) dan
tidak jelas (unplain meaning).
Kemudian dalam pasal 11 ayat 2 Undang-undang no. 30 tahun 1999 mengatur
bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di
dalam suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Namun,
apabila satu pihak menganggap bahwa sengketa perdata mereka adalah
sengketa kepailitan berdasarkan Undang-undang nomor 37 tahun 2004, maka
pihak tersebut akan melihat ada celah untuk memeriksakan perkara
tersebut ke Pengadilan Niaga yang adalah salah satu perangkat pengadilan
negeri. Apabila seseorang dinyatakan pailit, maka pada dasarnya telah
terjadi sita jaminan terhadap seluruh kekayaannya, dan dia tidak cakap
lagi untuk melakukan perikatan perdata . Seluruh kewenangan pengurusan
harta kekayaannya telah beralih kepada kurator. Kurator tidak terikat
dengan perjanjian arbitrase yang dibuat semula oleh debitur pailit
dengan mitra bisnisnya.
Salah satu contohnya adalah dalam perkara kasasi (perkara no.
019/K/N/1999). Amar putusannya antara lain menyatakan bahwa legal
effect arbitrase sebagai extra judicial tidak dapat menyingkirkan
kedudukan dan kewenangan Pengadilan Niaga untuk menyelesaikan permohonan
yang berkategori insolvensi atau pailit berdasarkan Undang-Undang No. 4
tahun 1998, meskipun lahirnya permasalahan insolvensi tersebut
bersumber dari perjanjian utang yang mengandung klausa arbitrase.
Betapa dinamis dan fleksibelnya pengertian pelanggaran terhadap
ketentuan umum, dan persyaratan causa halal dapat dilihat pada putusan
MA No. 1205.K/Pdt/1990, menyangkut suatu kasus impor gula oleh swasta
Indonesia dari swasta di Inggeris, dimana dalam kontraknya dinyatakan
bahwa sengketa diselesaikan melalui arbitrase. Namun ketika akan diminta
untuk dieksekusi di Indonesia, Pengadilan di Indonesia berpendapat
bahwa eksekusi tidak dapat dilaksanakan karena mengandung causa yang
tidak halal, dan melanggar ketertiban umum. Ketertiban umum yang
dimaksud adalah bahwa pada waktu itu satu-satunya Badan yang diberi
kewenangan mengimpor gula adalah BULOG. Pengadilan Indonesia memutuskan
bahwa putusan hakim negara lain tidak mempunyai daya ikat di Indonesia.
Bahkan karena hanya menyangkut titel eksekutorial, penetapan MA hanya
bersifat prima facie, artinya tidak perlu melakukan penilaian hukum atas
isi perjanjian yang dibuat para pihak yang bersengketa .
Bab III
Penyelesaian sengketa Pertamina – Karaha Bodas melalui arbitrase internasional
3.1 Uraian singkat kasus Pertamina versus Karaha Bodas Company
Sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas corporation (KBC) bermula
dengan ditandatanganinya perjanjian Joint Operation Contract (JOC) pada
tanggal 28 November 1994. Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik
Negara (PLN) di satu pihak dan Pertamina serta KBC pada pihak lain
menandatangani perjanjian Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian
kersasama ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan
memanfaatkan tenaga panas bumi yang ada di Karaha Bodas, Garut, Jawa
Barat. Dalam perjalanannya ternyata proyek kelistrikan ini ditangguhkan
oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1997
tertanggal 20 September 1997. Dampak penangguhan adalah kerjasama
Pertamina dengan KBC tidak dapat dilanjutkan.
KBC pada tanggal 30 April 1998 memasukkan gugatan ganti rugi ke
Arbitrase Jenewa sesuai dengan tempat penyelesaian sengketa yang dipilih
oleh para pihak dalam JOC. Pada tanggal 18 Desember 2000 Arbitrase
Jenewa membuat putusan agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada
KBC, kurang lebih sebesar US$ 261,000,000.
Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela
melaksanakannya. Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan
di Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini
tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit
sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court.
Sementara itu, KBC telah melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk
pelaksanaan Putusan Arbitrase Jenewa di pengadilan beberapa negara di
mana asset dan barang Pertamina berada, kecuali di Indonesia. Pada
tanggal 21 Pebruari 2001, KBC mengajukan permohonan pada US District
Court for the Southern District of Texas untuk melaksanakan Putusan
Arbitrase Jenewa. Selanjutnya KBC mengajukan permohonan yang sama pada
pengadilan Singapura dan Hong Kong. Dalam menyikapi upaya hukum KBC,
Pertamina melakukan upaya hukum berupa penolakan pelaksanaan di
pengadilan-pengadilan yang diminta oleh KBC untuk melakukan eksekusi.
Pertamina melanjutkan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase Jenewa di
pengadilan Indonesia. Pada tanggal 14 Maret 2002 Pertamina secara resmi
mengajukan gugatan pembatalan Putusan Arbitrase Jenewa kepada PN
Jakarta Pusat. Gugatan pembatalan tersebut didasarkan pada ketentuan
pasal 70 UU no. 30 tahun 1999 tentang syarat-syarat pembatalan putusan
Arbitrase Internasional yang berbunyi : Permohonan pembatalan hanya
dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di
pengadilan. Alasan alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal
ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan
menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti,
maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan
bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
Dalam putusannya nomor 86/PN/Jkt.Pst/2002 tanggal 9 September 2002 ,
pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan gugatan Pertamina
dengan membatalkan putusan arbitrase internasional, UNCITRAL, di Jenewa,
Swiss. Adapun beberapa alasannya antara lain pengangkatan arbiter tidak
dilakukan seperti yang telah diperjanjikan dan tidak diangkat arbiter
yang telah dikehendaki oleh para pihak berdasarkan perjanjian, sementara
Pertamina tidak diberikan proper notice mengenai arbitrase ini dan
tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Majelis arbitrase telah
salah menafsirkan force majeure, sehingga mestinya Pertamina tidak dapat
dimintakan pertanggungjawab atas sesuatu yang di luar kemampuannya. Di
samping itu, Majelis Arbitrase dianggap telah melampaui wewenangnya
karena tidak menggunakan hukum Indonesia, pada hal hukum Indonesia
adalah yang harus dipakai menurut kesepakatan para pihak, Majelis
arbitrase hanya menggunakan hati nuraninya sendiri berdasarkan
pertimbangan ex aequeo et bono
3.2 Komentar atas kasus Pertamina versus Karaha Bodas Company
Berbeda dengan kasus gula sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya
dimana pengadilan Indonesia dengan percaya diri menyatakan bahwa
terdapat pelanggaran terhadap causa yang halal dan ketertiban umum,
dalam kasus ini hal ketertiban umum tersebut tidak disinggung-singgung.
Pada hal adalah sangat nyata, bahwa alasan tidak dapatnya Pertamina
memenuhi kewajiban kontraknya adalah karena larangan dari Pemerintah
Negara Indonesia yang berdaulat melalui Keppres nomor 39 tahun 1997
tanggal 20 September 1997 tentang Penangguhan/pengkajian kembali
proyek Pemerintah, badan usaha milik negara, dan swasta yang berkaitan
dengan pemerintah/badan usaha milik negara pada amar menimbangnya
jelas-jelas dinyatakan bahwa Keputusan Pemerintah tersebut terkait
dengan upaya mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya
pembangunan nasional, serta berdasarkan landasan konstitusional yang
dimiliki oleh Presiden. Jelaslah di sini, bahwa penafsiran, perluasan
dan pemaknaan pengertian kepentingan umum dan causa yang halal sangat
situasional dan kontekstual yang dapat melebar dan meluas keluar dari
wilayah hukum dan memasuki wilayah pertimbangan politik, ekonomi dan
lain-lain.
Memang dalam hukum perdata internasional, ada asas yang menyatakan
apabila pemakaian dari hukum asing berarti suatu pelanggaran yang sangat
daripada sendi sendi azasi hukum nasional, hakim dalam hal-hal
pengecualian, dapat mengesampingkan hukum asing ini. Tetapi
pengesampingan tersebut haruslah sedemikian rupa alasannya, agar tidak
tergelincir menjadi kebanggaan sempit pada hukum nasional, yang oleh
Sudargo Gautama diistilahkan dengan chauvinisme yuridis . Di sisi lain,
apabila hukum nasional tertentu dikesampingkan, dan sebaliknya meng
adopt bagian tertentu dari hukum internasional untuk kepentingan sesaat
dan kontekstual, hal ini dapat dikategorikan sebagai penyelundupan
hukum.
Kasus Karaha Bodas Company adalah kasus hukum perdata Internasional di
bidang hukum kontrak Internasional yang menarik. Sayangnya putusan
Pengadilan di Indonesia mengenai pembatalan kasus tersebut tidak
komprehensif dari sisi legal. Menurut Hikmahanto Juwana, dalam kasus
tersebut Putusan Arbitrase Internasional tidak dapat dibatalkan oleh
pengadilan nasional. Kalaupun pengadilan nasional melakukan pembatalan,
pengadilan di negara lain yang sedang dimintakan untuk melaksanakan
putusan arbitrase dapat saja tidak terikat, bahkan mengabaikannya .
Beberapa hal yang menjadi catatan Hikmahanto adalah :
a. Dasar Kewenangan Pengadilan di Indonesia
Hikmahanto membedakan antara pembatalan dengan penolakan putusan
arbitrase sebagai berikut : Terhadap putusan arbitsrase yang dibatalkan,
pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang proses arbitrase.
Putusan arbitrase yang dibatalkan, akan menafikan (seolah tidak pernah
dibuat) putusan arbitrase tersebut. Dalam hal ini Pengadilan tidak
berwenang untuk memeriksa pokok perkara, tetapi hanya terbatas pada
memeriksa keabsahan dari segi prosedur pengambilan putusan arbitrase,
seperti pemilihan para arbiter dan pemberlakuan hukum yang dipilih.
Dalam pembatalan putusan arbitrase pengadilan dianggap bertentangan
dengan asas kebebasan berkontrak.
Sedangkan penolakan putusan arbitrase tidak berarti pengadilan menafikan
putusan tersebut, melainkan tidak dapatnya putusan arbitrase
dilaksanakan di yurisdiksi pengadilan yang telah menolaknya. Apabila
ternyata di negara lain masih ada asset dari pihak yang dikalahkan,
pihak yang dimenangkan masih dapat meminta eksekusi di pengadilan negara
tersebut.
Menurut Hikmahanto, kewenangan Pengadilan Negeri di Indonesia untuk
mengadili kasus KBC di Indonesia, harus dipertanyakan. Dalam proses
arbitrase paling tidak ada tiga jenis hukum yang berlaku, yaitu hukum
material (substantive law), hukum acara yang mengikat (governing/ curial
law) dan hukum dari suatu negara yang mendasari penyelesaian sengketa
(lex arbitri). Dari ketiga jenis hukum tersebut tidak ada satu jenispun
yang memberi kewenangan kepada Pengadilan Indonesia untuk mengadili
perkara dimaksud. Dalam kasus Karaha Bodas Company (KBC), hukum yang
digunakan adalah hukum Switzerland (Swiss).
b. Upaya hukum yang dilakukan Pertamina
Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela
melaksanakannya. Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan
di Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini
tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit
sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court. Hikmahanto
berpendapat upaya hukum melalui pengadilan Swiss lah yang benar.
Pengadilan Swiss adalah pengadilan yang berwenang untuk melakukan
pembatalan Putusan arbitrase Jenewa berdasrkan dua lalasan. Pertaman,
Pertamina dan KBC telah menentukan seat arbitrase dalam JOC di Jenewa,
dan kedua putusan arbitrase Jenewa di buat di Swiss.
Sebagai pihak yang kalah perlu dipertanyakan mengapa justru Pertamina
yang melakukan pendaftaran arbitrase Jenewa di Indonesia. Apabila
dimaksudkan untuk melakukan pembatalan agar memenuhi asas pendaftaran
sesujai pasal 71 UU 30 tahun 1999, dan alasan tersebut dapat diterima
oleh majelis hakim, pendirian yang demikian tidak tepat. Kewenangan
Pengadilan Negeri di Indonesia untuk membatalkan putusan arbitrase
hanyalah yang terbatas pada putusan arbitrase yang dibuat di Indonesia.
Terhadap putusan arbitrase asing, kewenangan yang ada hanyalah terbatas
dalam konteks pelaksanaan (eksekusi) suatu putusan.
Belakangan, memang pendapat Hikmahanto tersebut di atas nampaknya
sejalan dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Edward Baldwin et al mencatat, pada
akhirnya putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
tersebut di atas, dibatalkan oleh Mahkamah Agung atas dasar bahwa
pengadilan negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa perkara
itu, dan juga tidak berwenang untuk memutuskan klaim KBC .
Menurut pendapat kami, karena akar masalahnya adalah dari Keppres atau
Pengaturan Pemerintah yang menyebabkan Pertamina tidak dapat memenuhi
kewajiban kontraktualnya, maka apabila ada konsekuensi hukum dan klaim
atau kerugian yang ditimbulkannya, seyogianya hal tersebut harus diambil
alih oleh Pemerintah. Mengikuti ketentuan Pemerintah tidak boleh
mendatangkan kerugian bagi diri sendiri. Hal ini dalam konstruksi hukum
dapat dianalogkan dengan adagium umum pada hukum perdata dimana seorang
bawahan tidak dapat dipersalahkan dari akibat perbuatannya yang
sekedar melaksanakan perintah yang menugaskannya. Hal ini juga sejalan
dengan pandangan hukum dalam Black Law yang menyatakan quicunque jussu
judicis allquid fecerit non videtur dolo malo fecisse, qula parere
necesse est .
Bab IV
Simpulan
Dari pemaparan dan pembahasan pada bagian sebelumnya, kami dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :
a. Hukum Perdata Internasional diperlukan manakala ada hubungan-hubungan
hukum antar dua pihak yang tunduk kepada jurisdiksi hukum yang berbeda,
b. Bidang Hukum Perdata Internasional meliputi pengaturan hubungan
keluarga (nikah, cerai, waris), hubungan dagang, joint venture,
management contract.
c. Arbitrase internasional adalah salah satu metode yang dipilih untuk
penyelesaian sengketa dalam hubungan kontrak yang berdimensi perdata
internasional
d. Kesepakatan atau aturan main perlu disepakati dalam suatu arbitrase
menyangkut pilihan hukum (choice of law), pilihan forum (choice of
jurisdiction) dan pilihan domisili (choice of domicile)
e. Asas ketertiban umum dalam prinsip arbitrase Internasional,
penggunaan dan penerapannuya harus tetap dalam konteks tujuan para pihak
yang dituangkan dalam kontrak.
f. Perkara Pertamina versus Karaha Bodas Company, seyogianya tetap
dikontes dan diuji dalam perspektif legal. Adapun kerugian yang timbul
pada satu pihak akibat kebijakan Pemerintah, seyogianya hal tersebut
diselesaikan dan ditanggungjawabi oleh Pemerintah.
Jakarta, 2007
Sampe Purba
Daftar Pustaka
Buku
Emmy Yuhassaire, ed. , Interaksi antara arbitrase dan proses kepailitan – Prosiding, Pusat Kajian Hukum, Jakarta, 2005
——————, Transaksi Perdagangan Internasional – Prosiding, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2006
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2007
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1987
M. Yahya Harahap, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
Tineke Louise Tuegeh Longdong, Asas ketertiban Umum & Konvensi New York 1958, PT Citra Aditya Bakti Bandung , 1998
Jurnal
Jurnal Hukum Bisnis, Volume 21 Oktober – November .2002
Undang-undang
Undang-undang no. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa
Undang-undang no. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Kamus
Black’s Law dictionary, fifth ed., West Publishing Co., USA, 1979
Archive
Categories
- agama (9)
- bahasa jawa (9)
- belajar php (10)
- blog (44)
- budidaya (13)
- cara memasak (14)
- fisika (4)
- internet (1)
- ips (12)
- kesehatan (5)
- kewirausahhan (12)
- kimia (3)
- komputer (16)
- limbah (22)
- matematika (1)
- memperbaiki handphone (13)
- pendidikan (23)
- pendidikan kewarganegaran (22)
- story (15)
- tentang burung (3)
Kamis, 26 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
Parikan (4 wanda + 4 wanda) x 2 a. Pitik blorok, manak siji. Jare kapok, malah ndadi b. Wajik klithik, gula Jawa. Luwih becik, sing pr...
-
Kegiatan surat menyurat merupakan bagian dari pekerjaan administratif dimana merupakan bagian dari unit administrasi. Pengertian Surat Pen...
-
Smash adalah suatu pukulan yang kuat dimana tangan kontak dengan bola secara penuh pada bagian atas, sehingga jalannya bola terjal deng...
-
1. Contoh Surat Undangan Mugi Katur Panjenenganipun Bpk./Ibu/Sdr.________ wonten ing Palenggahan. Bissmillahirohmaanirrohim Assalamu ...
-
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapi tugas untuk membuat Contoh Surat Edaran Sederhana . Tampak sepele sih, tapi surat ini sa...
-
Inggris adalah Negara kerajaan tertua di dunia. Juga Negara yang mempunyai persemakmuran paling banyak. Selain itu,inggris memberikan kont...
0 komentar:
Posting Komentar